MAKALAH PARASITOLOGI
PARAMPHISTOMUM GIGANTOCOTYLE
DISUSUN OLEH :
NAMA: RAHMIN
NIM:
912312906105-079
S1 KEPERAWATAN ( IIB )
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AVICENNA
KENDARI
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur
yang dalam kami sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkah kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang
diharapkan dalam makalah ini, yang berjudul “ PARAMPHISTOMUM
GIGANTOCOTYLE“.
Saya sadar
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan semua itu
datangnya dari saya dan apabila
terdapat sedikit kelebihan itu datang dari
Allah SWT.
PENULIS
Kendari, 30 Maret 2013
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................
A.LATAR BELAKANG..........................................................................
BAB II
PEMBAHASAN..........................................................................
A.Morfologi..............................................................................................
B.Siklus Hidup.........................................................................................
C.Patogenesitas........................................................................................
D.Gejala Klinis........................................................................................
E.Prognosa...............................................................................................
F.Pengobatan/Terapi................................................................................
G.Pencegahan..........................................................................................
B.Siklus Hidup.........................................................................................
C.Patogenesitas........................................................................................
D.Gejala Klinis........................................................................................
E.Prognosa...............................................................................................
F.Pengobatan/Terapi................................................................................
G.Pencegahan..........................................................................................
BAB III PENUTUP................................................................................
A.KESIMPULAN...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Paramphistomum sp. adalah
cacing dari kelas trematoda yang merupakan cacing gastrointestinal. Cacing ini
menyerang ternak pemamah biak yang berumur muda ataupun yang dewasa.
Ternak-ternak yang diserangnya terutama adalah kerbau, sapi, kambing dan domba
(Levine, 1978).
Paramphistomum berukuran 1 cm dan berbentuk bulat serta memiliki batil
isap kecil pada bagian depan serta batil isap besar yang disebut acetabulum
pada bagian ventral. Batil tersebut digunakan untuk mengisap dan perlekatan
pada organ pencernaan dari ruminansia (Tim Parasitologi FKH-USK, 2005).
Menurut Anonimus (1991), cacing gastrointestinal banyak sekali
menimbulkan kerugian berupa kekurusan, tenaga menurun dan kematian pada ternak
muda dan dewasa. Hal ini jelas menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi
masyarakat petani peternak. Penurunan berat badan yang ditimbulkannya rata-rata
untuk kambing dan domba adalah sebesar 5 kg/ berat badan per ekor (Hotasoit,
1982 disitasi Anonimus 1991).
Daerah penyebaran cacing gastrointestinal ini adalah daerah yang
memiliki suhu udara 25-30 0C dengan kelembaban kira-kira 85 %. Telur
cacing yang keluar bersama kotoran menjadi siap tular selama 5-7 hari pada suhu
udara dan kelembaban seperti tersebut di atas (Anonimus, 1991).
Infestasi paramphistomum sp. Biasanya terjadi pada bulan-bulan
kering (musim kemarau). Pada saat ini populasi siput yang menjadi induk semang
parasit tersebut terpusat di sekitar daerah-daearah yang berair. Daerah-daerah
ini pada musim panas memiliki rumput yang subur dan hewan ternak sering
berkumpul di sini sehingga menyebabkan infestasi yang berat (Soulby, 1982).
.
Menurut Soulsby (12), ads dua famili siput yang panting yang bertindak sebagai
inang antara dari parasit cacing ini, ialah : Planorbidae dan Lymneaeidae. Di
Afrika, Australia dan India, inang enters hanya terdapat pads famili
Planorbidae. Di Amerika Utara dan Eropa inang antaranya adalah siput
Planorbidae dan juga siput Lymneaeidae. Pada sekitar tahun 1932 dan 1933 Krull
menemukan inang antara dan cacing P. Microbotrium, yaitu siput Lymnea humilis
atau L. bulimoides dan siput tersebut mirip dengan L . trunctetula yang
merupakan inang antara dari cacing P. daubneyi di Kenya (5). Di Indonesia telah
ditemukan siput sebagai inang antara dari cacing Paramphistomum (Gygantocotyl)
explanatum yaitu Gyraulus convexiusculus dari famili Planorbidae
BAB II
PEMBAHASAN
Paramphistomiasis merupakan suatu penyakit
yang disebabkan karena adanya infestasi cacing pada traktus alimentarius
(saluran pencernaan) domba atau ruminansia lainnya.
PENYEBAB:
✓Paramphistomum cervi
✓Cotylophoron cotylophorum
✓Gigantocotyl explanatum
✓Gastrothylax crumenifer
Gambar telur Paramphistomum sp. yang berhasil diidentifikasi dengan Metode Parfit and Bank dapat dilihat pada Gambar 1.
✓Paramphistomum cervi
✓Cotylophoron cotylophorum
✓Gigantocotyl explanatum
✓Gastrothylax crumenifer
Gambar telur Paramphistomum sp. yang berhasil diidentifikasi dengan Metode Parfit and Bank dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Paramphistomum sp. Pada feses domba menggunakan Metode Parfit and
Bank
A.
Morfologi
Cacing Paramphistomum sp. merupakan cacing
trematoda yang berotot tebal meneyerupai kerucut dari bagian anterior dan
berakhir pada satu penghisap yang mengelilingi mulut dan yang lainnya (sucker
dorsal dan ventral) (Putra, 2009). Cacing Paramphistomum
sp. yang dewasa memiliki ukuran panjang 3-11 mm dan lebar 1-3 mm. Bentuk
cacing ini adalah cembung pada bagian dorsal dan sedikit cekung pada bagian
ventral. Cacing ini memiliki acetabulum yang terletak pada bagian akhir
posterior dengan diameter 1,3 mm. Penghisap di bagian mulut pyriformis. Testes
cacing ini besar dan ukurannya pada cacing yang masih muda adalah sebesar
penghisap mulut. Pada cacing yang sudah tua ukuran testesnya adalah sedikit
lebih besar daripada acetabulum (Morgan dan Hawkins, 1960; Brown, 1983).
Secara umum bentuk cacing
ini tidak sama dengan bentuk cacing trematoda lainnya. Kebanyakan bentuk
tubuhnya bulat dan kadang-kadang lebih mirip dengan buah labu atau pir dengan
sebuah lubang di puncaknya (Noble, 1976).
B.
Siklus Hidup
Siklus
hidup Paramphistomum sp pada fase
bebas mirip dengan siklus hidup Fasciola
hepatica yaitu membutuhkan inang perantara siput air ( Lapage, 1962; Blood
dan Henderson, 1963). Paramphistomum memiliki siklus hidup yang bersifat
heteroxene dengan induk semang antaranya adalah siput. Telur yang keluar
bersama feses akan mampu bertahan pada suhu di bawah 10 0C selama
lebih dari enam bulan. Namun demikian telur tersebut cepat sekali rusak pada
lingkungan yang kering.
Dalam
waktu 3 minggu akan terbentuk mirasidium. Menurut Putra (2009) mirasidium
berkembang dalam waktu 11-29 hari dan berenang sampai menemukan hosper
intermedier (siput). Mirasidium akan mati jika tidak menemukan siput dalam air
dalam waktu kurang dari 24 jam. Setelah menemukan induk semang perantara maka
mirasidium akan masuk dan melepaskan silianya dan menjadi sporokista yang
memanjang dalam waktu 12 jam. Sporokista akan tumbuh dan menjadi matur dalam
waktu sekitar 1,5 minggu atau lebih dan kemudian memproduksi redia. Redia
meneluarkan serkaria yang belum matur dan akan berkembang dalam waktu 13 hari
atau lebih di dalam siput dan kemudian keluar ke air.
Proses
dari mirasidium menjadi sporokista, redia, redia anak dan akhirnya serkaria
menghabiskan waktu sekitar 4 minggu. Pada temperatur antara 16-17 0
C perkembangan larva membutuhkan waktu sekitar 110 hari. Serkaria melepaskan
diri dari tubuh siput dan menempelkan diri pada dedaunan atau bagian tumbuhan
dan berubah menjadi metaserkaria yang dalam waktu lima hari akan bersifat infektif (Tim
Parasitologi FKH-USK, 2005).
Metaserkaria
dapat bertahan hidup di dalam lingkungan yang lembab hingga 5 bulan. Namun
demikian larva ini sangat peka terhadap lingkungan yang kering. Metaserkaria
yang tertelan oleh induk semang definitive akan menetas di dalam usus, menempel
pada bagian depan dari duodenum pada selaput lendir atau menembusnya. Dalam
waktu selama satu setengah bulan, cacing akan mengembara menuju rumen. Masa
prepaten dari Paramphistomum cervi adalah 3 setengan bulan pada sapi dan domba
(Tim Parasitologi FKH-USK, 2005).
Cacing
ini mencapai dewasa kelamin dalam waktu 3,5 bulan dan waktu yang dibutuhkan
untuk satu siklus hidup berkisar antara 5-8 bulan. Cacing-cacing yang
belum dewasa berdiam di duodenum dan
setelah dewasa berpindah melalui abomasum ke reticulum (Blood dan Henderson,
1963).
CARA PENULARAN : termakannya
metaserkaria
Inang perantara : Lymnea spp., Bulinus spp., Planorbis spp., Indoplanorbis spp., Fossaria spp., Cleopatra spp.
Inang perantara : Lymnea spp., Bulinus spp., Planorbis spp., Indoplanorbis spp., Fossaria spp., Cleopatra spp.
C.
Patogenesitas
Paramphistomum
memiliki dua fase yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intestinal,
cacing muda menyebabkan pendarahan, bengkak serta merah di dalam duodenum dan
abomasums. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan duodenitis dan abomasitis.
Pada kasus infeksi missal, pertumbuhan cacing menjadi lambat, sehingga gejala
klinis akan terlihat lebih lama. Pada fase ruminal, cacing akan menyebabkan
perubahan epitel dari rumen yang mengganggu kapasitas resorbsi (Tim
Parasitologi FKH-USK, 2005).
Gigantocotyl explanatum → di
dalam saluran empedu terjadi perdarahan superficial.
Pada infeksi berat → liver pucat dan fibrosis
Stadium immature → perdarahan mukosa duodenum dan nekrosis, duodenitis
Pada infeksi berat → liver pucat dan fibrosis
Stadium immature → perdarahan mukosa duodenum dan nekrosis, duodenitis
Perubahan Patologis :
Keradangan katharalis meluas dan hemorrhagik dari duodenum dan jejunum + kerusakan kelenjar intestinal, degenerasi lymphe nodes dan organ-organ lain
Terjadi anemia, hypoproteinemia, odema dan emasiasi
Keradangan katharalis meluas dan hemorrhagik dari duodenum dan jejunum + kerusakan kelenjar intestinal, degenerasi lymphe nodes dan organ-organ lain
Terjadi anemia, hypoproteinemia, odema dan emasiasi
D.
Gejala Klinis
Gejala klinis adalah
diare dengan feses yang berbau khas yang disertai anoreksia dan dehidrasi (pada
infeksi duodenum ringan), apatis dan demam ringan. Pada Paramphistomum fase
ruminal, gejala klinis tidak terlihat jelas (Putra, 2009).
E.
Prognosa
Pada kasus kronis akan
terjadi kekurusan serta kerugian ekonomi lainnya. Namun pada kasus massal
cacing ini dapat menyebabkan kematian.
F.
Pengobatan/ Terapi
Apabila terinfeksi cacing
Paramphistomum sp. Dapat dilakukan
pengobatan dengan pemberian fluksidens/ oxyclozodine yang efektif melawan Paramphistomum sp. Yang dewasa. Terapi
juga dapat dilakukan dengan pemberian resorantel 65 mg/ Kg BB atau rafoxanid 15
mg/ Kg BB untuk domba. Sementara untuk sapi dapat diberikan levamisol 9,4 mg/
Kg BB atau niclosamid 2 x 160 mg/ Kg BB.
G.
Pencegahan
Untuk pencegahan terhadap
manifestasi dari Paramphistomum dapat dilakukan dengan menggunakan molluscida
untuk membasmi siput, pengaturan air minum yang baik agar hewan tidak minum
sembarangan (secara alami) yang kemungkinan airnya tercemar oleh siput serta
mengembalakan ternak di dataran yang tinggi yang siklus hidupnya relatif lebih
kecil.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Cacing
Paramphistomum sp. merupakan parasit cacing yang sering ditemukan di daerah
tropik dan sub tropik yang biasa menyerang ternak sapi, kerbau, kambing den
domba . Cacing ini cukup berbahaya untuk hewan ternak muda, yaitu bila terjadi
migrasi cacing muda dari usus menuju rumen . Pada fase ini, banyak terjadi
kematian, sehingga infestasi parasit cacing ini perlu mendapat perhatian untuk
diteliti .
Untuk
mencegah terjadinya infestasi cacing ini, perlu dilakukan
1)
. Pengobetan terhadap ternak-ternak yang.sudah terinfestasi, untuk mencegah
keluarnya telur cacing, karena cacing dewasa telah terbunuh, sehingga penyakit tidak
dapat tersebar secara luas.
2).
Hewan ternak muda sebaiknya dijauhkan penggembalaannya dari daerah padang
rumput yang telah terinfeksi.
3)
. Pemberantasan siput sebagai inang antara dengan jalan pemberian moluskisida/pestisida,
untuk memotong siklus hidup cacing tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. (1991). Peta dan Petunjuk Pengendalian Penyakit Hewan di
Provinsi Tk. I Sumatera Utara Tahun 1991. BPPH Wilayah I Medan .
Blood, D. C. dan J. A. Henderson. (1963). Veterinary Medicine. Second
Edition. Baltimore the Williams and Wilkins Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar