BAB I
TINJAUAN TEORI
1.1. Latar Belakang
Di Negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, kejadian infeksi nosokomial jauh lebih tinggi. Menurut penelitian
yang dilakukan di dua kota besar Indonesia didapatkan angka kejadian infeksi
nosokomial sekitar 39%-60%. Di Negara-negara berkembang terjadinya infeksi
nosokomial tinggi karena kurangnya pengawasan, praktek pencegahan yang buruk,
pemakaian sumber terbatas yang tidak tepat dan rumah sakit yang penuh sesak
oleh pasien (Sumaryono. 2005).
1.2. Defenisi
Infeksi nosokomial merupakan kejadian
yang sering terjadi di rumah sakit dan dapat menimbulkan kerugian bagi pasien,
keluarga dan rumah sakit itu sendiri. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang
didapat pasien setelah 3×24 jam setelah dilakukan perawatan di rumah sakit.
Salah satu jenis infeksi nosokomial yang
sering terjadi adalah infeksi saluran kemih. Infeksi nosokomial saluran kemih
paling sering disebabkan oleh pemasangan dower kateter yaitu sekitar 40%
(Heather, M. And Hannie, G. 2001).
Dalam beberapa studi prospek, telah
dilaporkan bahwa tingkat ISK yang berhubungan dengan pemasangan dower kateter
berkisar antara 9% - 23% (20). Menurut literatur lain didapatkan pemasangan dower
kateter mempunyai dampak terhadap 80% terjadinya infeksi saluran kemih
(Heather, M. And Hannie, G. 2001).
Salah satu upaya untuk menekan angka
kejadian infeksi nosokomial saluran kemih adalah dengan melakukan perawatan dower
kateter dengan kualitas yang baik sesuai dengan standar operasinal
perawatan kateter dan prosedur pencegahan infeksi. Untuk itulah penulis
tertarik melakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas perawatan
kateter dengan kejadian infeksi nosokomial saluran kemih.
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari
infeksi
nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan
kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat menyebabkan
terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian. Organisme yang biaa menginfeksi
biasanya E.Coli, Klebsiella, Proteus,
Pseudomonas, atau Enterococcus. Infeksi
yang terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme endogen, sedangkan
infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu yang lama biasanya karena
mikroorganisme eksogen.4,9,11 Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran
mikroorganisme sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter.
Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu
pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi
tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang digunakan
untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang gagal dan
teknik septik dan aseptik.
1.3. Etiologi
Infeksi nosokomial saluran kemih dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor hospes (penerima), agent
infeksi (kuman / mikroorganisme), faktor durasi atau lama pemasangan dower
kateter dan faktor prosedur (pemasangan dan perawatan) (Schaffer. 2000).
Prosedur
pemasangan kateter perlu memperhatikan teknik aseptik dan benar sehingga tidak
menimbulkan iritasi atau trauma pada saluran kemih yang dapat menjadi sumber
infeksi. Lamanya waktu pemasangan kateter sebaiknya tidak terlalu lama, karena
semakin lama terpasang kateter angka kejadian infeksi saluran kemih semakin
tinggi. Apabila ada advis dokter untuk melepas dower kateter maka harus
dilepas secepat mungkin dan bila terpasang lebih dari 7 hari maka penggantian dower
kateter baru harus dilakukan. Pemberian perawatan kateter yang berkualitas
tinggi akan dapat mengurangi tingkat terjadinya infeksi nosokomial saluran
kemih.
Semua
mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme
yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora
normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang
terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal,yaitu
penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan
yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan
disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang
sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal
Bakteri penyebab yang paling sering adalah
golongan Enterobacteriaceae yang berasal dari daerah perineum atau traktus
intestinal. E.coli merupakan penyebab 70-80% pada ISK simpleks. Penyebab
lainnya seperti : klebsiella, proteus, staphylococcus saphrophyticus,
pseudomonas aeroginosa, streptococcus fecalis dan streptococcus
agalactiiae jarang ditemukan.
Pada uropati obstruksi dan pada kelainan
struktur saluran kemih pada anak laki-laki sering ditemukan proteus species.
Pada perempuan remaja dan pada perempuan yang seksual aktif sering
ditemukan, staphylococcus saphrophyticus.
ISK nosokomial sering disebabkan E.coli,
Pseudomonas, Klebsiella sp, dan Aerobacter.
Tabel 1. Jenis-Jenis Mikroorganisme Penyebab ISK
MIKROORGANISME
|
Persentase biakan
(dgn ≥ 105 cfu/ml)
|
Escherichia Coli
Klebsiella atau Enterobakter
Proteus morganela atau providencia
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus epidermis
Enterococci
Candida albicans
Staphylococcus aureus
|
50 – 90%
10 – 40
5 – 10
2 – 10
2 – 10
2 – 10
1 – 2
1 – 2
|
1.4. Faktor Risk
ISK dapat terjadi pada 5% anak perempuan
dan 1-2% anak laki-laki. Kejadian ISK pada bayi baru lahir dengan berat lahir
rendah mencapai 10-100 kali lebih besar dibanding dengan berat lahir normal
(0,1-1%). Sebelum usia 1 tahun, ISK terjadi pada anak perempuan. Misalnya pada
anak usia pra sekolah dimana ISK pada perempuan mencapai 0,8%, sementara pada
laki-laki hanya 0,2. Dan rasio ini terus meningkat sehingga diusia sekolah,
kejadian ISK pada anak perempuan 30 kali lebih besar dibanding anak laki-laki.
Dan pada anak laki-laki yang disunat, resiko ISK menurun hingga menjadi 1/5 –
1/20 dari anak laki-laki tidak disunat.
Pada usia 2 bulan – 2 tahun, 5% anak dengan
ISK mengalami demam tanpa sumber infeksi dari riwayat dan pemeriksaan fisik.
Sebagian besar ISk dengan gejala tunggal ini terjadi pada anak perempuan.
Heale dkk (1993) melaporkan insiden
bakteriuria simptomatik sebesar 9,1%. Penyelidikan di bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM Jakarta oleh wila wirya dkk (1976) pada anak yang dirawat dengan
penyakit ginjal lain, insiden bakteriuria simptomatis didapatkan sebesar 31.1%.
Pada neonatus dengan resiko tinggi infeksi didapatkan insiden sebesar 1,1%.
1.5. Manifestasi Klinik
ISK dapat berlangsung dengan gejala
(simptomatis) atau tanpa gejala (asimptomatis). Pada yang simptomatis, makin
muda usia anak gejala klinis makin tidak khas. Pada bayi baru lahir, gejala
yang ditemukan dapat berupa demam, malas minum, ikterus, hambatan pertumbuhan
atau tanda-tanda sesis. Pada masa bayi, gejala sering berupa panas yang tidak
jelas penyebabnya, nafsu makan kurang, gangguan pertumbuhan, kadang-kadang
diare atau kencing yang sangat berbau. Pada usia prasekolah gejala klinis
sering berupa sakit perut, muntah, demam, sering kencing dan ngompol. Pada anak
usia sekolah, gejala spesifik makin nyata berupa ngompol, sering kencing, sakit
waktu kencing atau sakit pinggang.
Pada infeksi yang kronis atau kambuh
berulang (recurrent) dapat terjadi tanda-tanda gagal ginjal menahun atau
hipertensi serta gangguan pertumbuhan. Infeksi yang asimptomatis pada umumnya
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin seorang anak atau pada
kegiatan penyaringan ISK anak sekolah.
1.6. Patofisiologi
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih
yang mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dalam tubuh, dan sebagai
pengatur volume dan komposisi kimia darah dengan
mengekspresikan air yang dikeluar dalam bentuk urine apabila berlebih.
Diteruskan dengan ureter yang menyalurkan urine ke kandung kemih. Sejauh ini
diketahui bahwa saluran kemih atau urine bebas dari mikroorganisme atau steril.
Masuknya mikroorganisme kedalam saluran kemih dapat melalui :
Â
Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat
infeksi terdekat
Â
Hematogen
Â
Limfogen
Â
Eksogen sebagai akibat pemakaian berupa kateter.
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah
hematogen dan ascending, tetapi dari kedua cara ini ascendinglah
yang paling sering terjadi. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang
berasal dari flora normal usus, dan hidup secara komensal di dalam introtus
vagina, preputium penis, kulit perineum, dan di sekitar anus. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui uretra – prostate – vas deference – testis (pada
pria) buli-buli, dan sampai ke ginjal.
Faktor ISK sangat kompleks, karena
tergantung dari banyak faktor seperti faktor penjamu (host) dan faktor
organismenya.
Bakteri dalam urine bisa berasal dari
ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria atau dari uretra. Timbulnya suatu infeksi
di saluran kemih sangat tergantung dari faktor predisposisi dan faktor
pertahanan tubuh penderita yang masih belum diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor predisposisi adalah adanya
obstruksi urin, kelainan struktur, urolitiasis, benda asing, refluks ataupun
suatu konstipasi yang lama dan lain-lain. Pada bayi dan anak adanya bakteri
dalam saluran kemih umumnya berasal dari tinjanya sendiri yang menjalar secara
ascending.
Flora usus
 Munculnya tipe urogenik
Â
Kolonisasi di perineal dan uretra enterior
Â
Barier peratahanan mukosa normal
 Virulensi bakteri ←
sistisis → faktor pejamu
Pielonefritis akut
Â
Parut ginjal
Â
Urosepsis
Patogenesis dari ISK
ascending
Faktor pejamu dalam bagan tersebut dapat
berupa memperkuat perlekatan ke sel uroepitel, refluks vesiko ureter, refluks
intrarenal, tersumbatnya saluran kemih dan benda asing (kateter).
Bakteri uropatogenik yang melekat pada sel
uroepitel, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot polos dinding ureter dan menyebabkan
gangguan peristaliknya. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel ini akan
meningkatkan virulensi bakteri tersebut.
Pada ISK, dilatasi urinary collecting
system dapat terjadi tanpa obstruksi refluks vesikounreter. Mukosa kandung
kemih dilapisi oleh suatu glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan musin ini menyebabkan bakteri dapat
melekat dan membentuk koloni dipermukaan mukosa, kemudian masuk menembus epitel
dan mulai mengadakan peradangan.
Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke
ureter dan sampai ke ginjal melaui suatu lapisan tipis cairan (films of
fluid) apalagi bila terdapat refluks ureter dan refluks intrarenal.
Infeksi akut atau kronik vesika urinaria (sistitis)
akibat infeksi yang berulang mengakibatkan perubahan pada dinding vesika dan
dapat mengakibatkan inkompetensi dari katup vesiko ureter.
Akibat rusaknnya katup ini, urin dapat naik
kembali ke ureter terutama pada waktu berkemih (waktu kontraksi kandung kemih),
hal ini disebut refluks. Akibat refluks ini ureter dapat melebar atau urin
sampai ke ginjal dan mengakibatkan kerusakan pielum dan parenkim ginjal
(pielonefritis). Infeksi parenkim ginjal dapat juga terjadi secara hematogen
atau limfogen.
Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi,
dapat mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria dan akibatnya
rasa ingin miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (polakisuria)
atau sakit pada waktu miksi (disuria). Mukosa vesika urinaria menjadi edema dan
meradang dan dapat terjadi perdarahan dari mukosa yang edema ini (hematuria).
Bila infeksi kronik yang lama terjadi di
vesika urinaria menyebabkan dinding vesika urinaria menjadi tebal dan banyak
mengandung jaringan fibrosa yang akhirnya dapat merusak bagian ureter intra
mural/ katup vesiko ureter.
Stasis urin di ureter yang lama menimbulkan
mudahnya terjadi infeksi dan dilatasi ureter.
Tipe E.coli yang dapat mengikat
‘globo’dari glikolipid sering ditemukan apda pielonefritis akut yang dapat
menyebabkani inflamasi. Tipe globo-positif ini dapat menimbulkan panas tinggi,
laju endap darah meningkat, leukosituria yang banyak dan dapat melebarkan
ureter. Diperkirakan hanya ½ sampai ¾ anak dengan pielonefritis yang tidak
memperlihatkan refluks.
Telah diketahui bahwa bakteri yang masuk
dalam tubuh akan difagositosis oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag
tetapi apabila bakteri tersebut membangkitkan respons imun atau mengaktifasi
sistem komplemen bakteri tersebut akan dibalut dengan antibodi (antibody
coated bacteria) atau protein komplemen. Dalam mekanisme patogenesis ISK,
banyak hal yang masih belum jelas benar, misalnya mengapa bakteri sendiri
mempunyai kemampuan untuk mengubah surface characteritic-nya sesuai
dengan kondisi sekitarnya.
Pada bayi secara hematogen lebih sering
terutama bila ada kelainan struktur traktus urinarius. Bakteri patogen ataupun
bakteri non-patogen di daerah tubuh lainnya (kolon, mulut, kulit) bila
berkembang biak di parenkim ginjal akan menghasilkan amonia yang dapat
menghalangi pertahanan tubuh yang normal yaitu dengan menghalangi sistem
komplemen dan dapat menghalangi migrasi leukosit polimorfonuklear dan
fagositosis karena amonia meningkatkan hipertonisitas medula. Bila sudah
terdapat infeksi parenkim, fungsi ginjal dapat terganggu.
Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting
system. Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun
oleh tekanan urin akibat refluks, berupa atrofi ginjal.
Pada pielonefritia akut dapat ditemukan
fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal membengkak (edema) dan banyak
ditemukan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dalam jaringan interstitial
akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi,
adanya produk dari bakteri atau adanya zat mediator toksik yang dihasilkan sel
yang telah rusak akan mengakibatkan parut ginjal.
Penjalaran Infeksi
Infeksi dapat mencapai saluran kemih dengan
cara hematogen atau ascending dari orificiumuretra internal dan masuk ke
kandung kemih dan akhirnya sampai ke ginjal. Pada umumnya penjalaran hematogen
jarang kecuali pada neonatus. Telah diketahui bahwa bakteremia sering terjadi
pada neonatus dan bayi di bawah umur 3 bulan. Pada anak yang lebih besar
penyebaran infeksi secara hematogen sampai ke saluran kemih (pielonefritis akut)
adalah karakteristik dari bakteremia karena virulensi bakteri tersebut seperti S.aurenus,
P.aeruginosa, Seretia sp dan tuberkulosis. Bakteremia yang terjadi dari
fokus primer yang ada di saluran kemih disebut urosepsis. Pada kebanyakan anak
dan orang dewasa diyakini ISk akibat infeksi ascending dari orifisium uretra
sampai ke ginjal.
E.coli sebagai flora kolon merupakan sumber
organisme yang dapat menyebabkan ISK tapi tidak semua tipe E.coli ini mempunyai kemampuan untuk membentuk koloni
dalam saluran kemih. Hanya bakteri yang mempunyai virulensi uropatogenik yang
dapat menyerang saluran kemih dengan anatomi normal. Sebaliknya virulensi
bakteri ini tidaklah penting sebagai penyebab ISK bila ada kelainan struktur
anatomi atau neurologi pada saluran kemih anak. Langkah pertama yang penting
dalam patogenesis ISk yang ascending terebut adalah ditemukannya kolonial E.coli
uropatogenik di sekitar periuretra atau di introitus vagina pada perempuan.
Pada laki-laki ditemukannya kolonisasi bakteri tersebut di daerah periuretra
dan preputium. Mekanisme naiknya mikroorganisme tersebut dari periuretra atau
daerah vagina ke saluran kemih masih belum diketahui sepenuhnya. Pada beberapa
kasus ganguan fungsi kandung kemih yang turun temurun bisa menyebabkan
timbulnya kolonisasi dalam kandung kemih.
Dalam beberapa percobaan, telah dibuktikan
bahwa bakteri dapat naik dari kandung kemih ke ginjal dan menyebabkan
pielonefritis akut, dalam percobaan tersebut adanya obstruksi saluran kemih
merupakan prasyarat naiknya bakteri ke ginjal.
Refluks vesiko ureter merupakan
predisposisi untuk timbulnya pielonefritis akut karena naiknya bakteri dari
kandung kemih ke parenkim ginjal melalui ureter yang mengalami refluks
tersebut.
Faktor Pejamu dan ISK
Pada beberapa anak, predisposisi terjadinya
ISK adalah karena adanya kelainan anatomi kongenital atau yang didapat
sedangkan pada anak yang lainnya kemungkinan kelainan itu tidak ditemukan,
walaupun sudah diteliti. Pada kelompok yang terakhir ini diduga yang menjadi
faktor predisposisi adalah virulensi bakteri atau karena kelainan fungsional
saluran kemih.
Beberapa faktor pejamu dan predisposisi
terjadinya ISK
A.
Faktor anatomi:
 Refluks vesiko ureter
dan refluks intrarenal
 Obstruksi saluran kemih
et causa benda asing dalam saluran kemih (kateter urin)
 Duplikasi collecting
system
 Ureterokel
 Divertikulum kandung
kemih
o Meningkatnya perlekatan
ke sel uroepitel
o Nonsecretors with P
blood group antigens
o Nonsecretors with Lewis
blood group phenotype
Pada anak yang normal, perlekatan dan
proliferasi bakteri pada mukosa kandung kemih dapat dicegah oleh adanya aliran
urin yang deras dan adanya mekanisme pertahanan lokan mukosa kandung kemih.
Mekanisme pertahanan lokal terhadap faktor
pejamu yang berhubungan dengan pencegahan perlekatan bakteri ke uroepitel :
 Mekanisme pencucian
karena aliran urin
 Tamm-Horsfall protein
 Interferensi bakteri
oleh endogenous periurethral flora
 Urinary
oligosaccharides
 Eksfoliasi spontan dari
sel uroepitel
 Urinary immunoglobulinx
 Mukopolisakarida yang
melapisi dinding kandung kemih
Mekanisme pertahanan lokal ini dapat
terganggu bila ada kelainan anatomi kongenital atau yang didapat dan dapat
meningkatkan resiko terjadinya ISK. Secara keseluruhan kelainan radiologik yang
dapat ditemukan pada ISK hanya berkisar 40-50%. Refluks vesiko ureter merupakan
kelainan saluran kemih yang paling sering ditemukan pada ISK, itupun hanya bisa
ditemukan sekitar 30%. Adanya refluks mengakibatkan anak mudah mendapat ISK dari
urin yang terinfeksi tersebut, infeksi dapat naik ke parenkim ginjal. Pada
tempat refluks tersebut bakteri akan bertahan lama dan merupakan sumber infeksi
dalam saluran kemih.
Stasis urin karena adanya obstruksi saluran
kemih dan adanya residu urin merupakan faktor lainnya yang mempermudah bakteri
tinggal lebih lama dan dapat berproliferasi. Adanya divertikulum kandung kemih,
ureterokel, lambatnya aliran urin pada collecting system yang duplikasi
mengakibatkan timbulnya nidus sehingga bakteri dapat lebih lama tinggal dan
berproliferasi dalam saluran kemih. Adanya benda asing dalam saluran kemih
seperti kateter juga memudahkan terjadinya ISK. Lebih dari 90% ISK nosokomial
pada anak yang dirawat disebabkan pemasangan kateter urin.
Bila tidak ditemukan adanya defek anatomi
saluran kemih dianggap penyebab resiko ISK adalah faktor pejamu. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitel merupakan prasyarat untuk timbulnya kolonisasi
bakteri. Sel uroepitel pada anak sangat rentan terhadap infeksi karena memiliki
kapasitas mengikat bakteri disebabkan oleh adanya reseptor pada sel tersebut.
Jadi pada anak yang mempunyai struktur anatomi saluran kemih yang normal,
timbulnya kerentanan terhadap infeksi karena sel uroepitelnya mempunyai
kapasitas mengikat bakteri yang masuk ke saluran kemih. Mekanisme molekular
mengenai perlekatan bakteri ini ke sel uroepitel tersebut masih belurn
diketahui dengan pasti.
Virulensi Bakteri dan ISK
Selain faktor pejamu, virulensi bakteri
juga menentukan lokasi anatomi perjalanan ascending bakteri dari daerah
periuretra. Bakteri E.coli tipe serologik O, K dan H dapat diisolasi
dari penderita dengan pielonefritis akut, sedang pada ISK asimptomatik ternyata
tipe tersebut tidak ditemukan. Faktor-faktor bakteri yang berhubungan dengan
virulensi uropatogenik dari E.coli adalah :
 Mempunyai fimbria
Â
Melekat ke uroepitel
Â
Mempunyai serotipe O dan K
Â
Menghasilkan hemolisin
Â
Menghasilkan colistin V
Â
Menghasilkan aerobactin
 Resisten terhadap bactericidal
action atau human serum
Sifat melekat E.coli merupakan hal yang
penting dari organisme tersebut untuk bertahan di saluran kemih dan menyebabkan
ISK. Perlekatan antara bakteri dan sel uroepitel diantarai oleh reseptor sel
uroepitel dengan molekul protein dari bakteri yang disebut adhesin yang
berada pada permukaan bakteri tersebut. Pada bakteri E.coli adhesin terletak
pada ujung-ujung fimbria. Pili dengan ujung adhesin-nya. dapat
melekatkan bakteri tersebut ke permukaan sel uroepitel. Beberapa tipe pili
dengan sifat adhesin-nya telah banyak diketahui dari bakteri E.coli. pili
tipe 1 dengan adhesin-nya dapat mengaglutinasi sel darah merah mannut (glitinea
pig). Aglutinasi ini dapat dihambat oleh adanya manosa. Pili tipe 1 atau mannose-sensitive
pili ini sering ditemukan pada E.coli yang mempunyai fimbria
(uropatogenik ataupun non-patogenik). E.coli yang melekat ke sel
uroepitel dan menyebabkan pielonefritis dapat mengaglutinasi sel darah merah
manusia dan resisten terhadap adanya manosa.
Adhesin yang ada pada pili E.coli ini
bereaksi dengan sel uroepitel melalui reseptor glikolipid dengan disakarida
galaktosa a 1-4 galactose β. Pili seperti ini disebut “Gal-gal pili” atau
“P-fimbriae” dan dinamakan seperti itu setelah ditemukan adanya
P-antigen golongan darah yang juga mengandung glikosfingolipid yang sama dengan
reseptor dari sel uroepitel. P-fimbria dapat ditemukan pada 90% E.coli dari urin penderita
pielonefritis akut tanpa adanya obstruksi urin. Adanya P-fimbria dari E.coli
dianggap sebagai faktor virulensi bakteri pada sel uroepitel.
Penderita yang terinfeksi dengan E.coli yang
melekat ke sel uroepitel (adhering E.coli) akan menunjukkan gejala
inflamasi sistemik dan renal yang nyata (leukosituria, c-reaktif protein
serum meningkat, laju endap darah meningkat) dibanding bila terinfeksi dengan
tipe yang tidak melekat (nonadhering strain). Bakteri yang melekat ke
sel uroepitel akan menghasilkan endotoksin dan lipopolisakarida lebih banyak
dan langsung ke jaringan ginjal.
1.7. Pemeriksaan Diagnostik
Pada yang simptomatis, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yang ditemukan dan dengan adanya jumlah bakteri yang
bermakna dalam urin yang seharusnya steril dengan atau tanpa disertai pluria.
Bila ditemukan silinder leukosit maka kemungkinan pielonefritis perlu
dipikirkan.
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting
untuk menegakkan diagnosis ISK ialah biakan urin dan pemeriksaan urin lengkap.
I.
Biakan urin
Penampungan
urin untuk pembiakan dapat dilakukan dengan 3 cara :
1.
Urin pancaran tengah (midstream urine)
2.
Kaleterisasi kandung kemih
3.
Pungsi kandung kemih (supra pubic puncture, SPP)
Sebelum pengambilan contoh urin perlu
dilakukan tindakan asepsis. Pada pengambilan cara a dan b, genitalia eksterna
dibersihkan dulu dengan air bersih atau larutan sublimate 1%. Pada anak
perempuan labia minora harus dibuka dan pada anak laki-laki preputium perlu
ditarik ke belakang pada saat pembersihan. Fungsi kandung kemih dilakukan
sebagai berikut : daerah suprapubis dibersihkan dengan larutan jodium 2 dan
alkohol 70%. Sebelumnya anak disuruh menahan kencing selama ±1 jam dan
dianjurkan banyak minum. Pungsi dilakukan dengan jarum semprit 5 atau 10 ml,
pada tempat kira-kira 0,5-1 cm di atas simfisis pubis.
Dengan cara a dan b, biakan urin dianggap
positif atau bermakna bila didapat jumlah kuman 100.000 atau lebih
per-mililiter urin. Jumlah kuman antara 10.000 – 100.000/ml urin dianggap
meragukan dan perlu diulang. Bila jumlah kurang dari 10.000/ml urin maka hasil
ini dianggap sebagai kontaminasi. Sebaiknya biakan urin dilakukan dua kali
berturut-turut agar didapat hasil yang lebih pasti (derajat kepastian 95%).
Hasil biakan urin dengan cara pengambilan
pungsi kandung kemih dianggap positif atau bermakna bila ditemukan 200 kuman
atau lebih permilimeter urin. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu antara
pengiriman bahan dan penanaman dalam media biakan. Bila urin dibiarkan dalam
suhu kamar dalam setengah jam atau lebih maka kuman akan cepat membiak sehingga
akan memberikan hasil positif palsu. Bila urin tidak segera dikirim ke
laboratorium, maka harus disimpan pada suhu 4oC. Dengan cara ini
urin dapat disimpan selama 24-48 jam tanpa merubah jumlah kuman.
Cara lain yang lebih mudah dan sederhana
untuk mendeteksi bakteri ialah dengan pemeriksaan bakteriologis semi
kuantitatif misalnya dengan micristix (Ames, co). Caranya ialah dengan
mencelupkan microstix ke dalam urin yang ditampung seperti pada biakan
konvensional, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Dengan cara ini ternyata
ditemukan korelasi yang tinggi dengan hasil biakan konvensional dengan kepekaan
sebesar 93,8% dan spesifitas 95,5%.
II. Pemeriksaan urin lengkap
Bila pada pemeriksaan sedimen urin
ditemukan piuria pada 50% kasus ISK. Tidak ada korelasi yang pasti diantara
piuria dan bakteriuria tetapi pada setiap kasus dengan piuria haruslah dicurigai
kemungkinan adanya ISK.
III. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang penting dilakukan ialah
Piek’grafi Inlravena (P1V) dan Miksio-sisto-uretrografi (MSU).
Kedua pemeriksaan tersebut sedapat mungkin
dilakukan pada semua penderita ISK. Pemeriksaan PIV dapat memberikan gambaran
tentang kemungkinan terjadinya pielonefritis kronis dengan melihat bentuk dan
besamya kedua ginjal, adanya gambaran yang asimetri antara kedua ginjal karena
perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul dan atau melebar atau
terbentuknya jaringan parut. Juga dapat ditemukan kelainan tanda-tanda
kongenital maupun kelainan obstruktif atau kelainan anatomis. Pada pemeriksaan
MSU dapat ditemukan tanda-tanda refluks vesiko ureter atau penyempitan pada
muara uretra.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan ialah
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah atau yang lebih teliti lagi bila
diperiksa ureum clearence dan kreatinin untuk mengetahui derajat fungsi
ginjal.
1.8. Tindakan Medis
Dalam penanganan dan
pengobatan perlu diketahui apakah infeksi terdapat pada traktus urinarius
bagian atas (ureter, pielum dan ginjal) atau hanya pada bagian bawah (vesika
urinaria dan uretra).
ISK bagian atas
dianggap lebih berat karena dapat mengakibatkan kerusakan ginjal. Membedakan
kedua lokasi infeksi ini tidaklah mudah pada seorang anak terutama bayi.
Pemeriksaan langsung terhadap infeksi bagian atas dapat dilakukan dengan biakan
urin yang diambil dengan kateterisasi dari kedua ureter, namun hal ini jarang
dilakukan pada anak karena dapat bersifat traumatis. Pemeriksaan secara tidak
langsung yang dapat memberikan petunjuk ke arah ISK bagian atas adalah
terdapatnya gejala demam, sakit pinggang, terdapat silinder leukosit di urin,
laju endap darah yang meninggi dan peninggian kadar C-reaktif.
Pemeriksaan lain yang
lebih sukar ialah biakan urin dengan bladder washout technique (penampungan
urin setelah pencucian vesika urinaria dengan larutan aseptik), antibody
coated bacteria (pemeriksaan bakteri yang diliputi oleh antibodi) dan
sebagainya. Penurunan fungsi ginjal, hipertensi, azotemia dan terdapatnya parut
ginjal (pyelonephritic scarring) pada pemeriksaan radiologi menjurus
pada ISK atas.
ISK bagian bawah
biasanya lebih ringan, umumnya tanpa gejala demam dan hanya ditandai degan
gejala lokal seperti disuria, polakisuria aUoi kencing megedan. Pada
pemeriksaan sedimen urin sering ditemukan leukosit yang berkelompok.
A.
Pengobatan sacara umum, yaitu terhadap panas, muntah,
dehidrasi dan lain-lain. Disamping itu anak-anak juga dianjurkan untuk banyak
minum dan jangan menahan kencing.
Pengobatan simptomatik terhadap keluhan sakit kencing
dapat diberikan fenazopiridin (pyridium) 7-10 mg/kgbb/hari. Disamping itu perlu
juga mencari dan mengurangi atau menghilangkan faktor predisposisi seperti
obstipasi, alergi, investasi cacing dan
memperhatikan kebersihan perineum meskipun usaha-usaha ini kadang-kadang tidak
selalu behasil.
B.
Pengobatan khusus
Penanggulangan ISK ditujukan terhadap 3 hal, yaitu :
§
Pengobatan terhadap infeksi akut
§
Pengobatan dan pencegahan infeksi berulang
§
mendeteksi dan melakukan koreksi bedah terhadap
kelainan anatomis, kongenital maupun yang didapat pada traktus urinarins
1.
Pengobatan infeksi akut
Pengobatan yang segera dan adekuat pada
fase akut dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya pielonefritis
kronis. Pada keadaan berat atau panas tinggi dan keadaan umum yang lemah,
pengobatan segera dilakukan tanpa menunggu hasil pembiakan urin dan uji
resistensi kuman. Pada infeksi akut yang simpleks (uncomplicated
infection) diberikan antibiotika/kemoterapi oral. Obat yang sering dipakai
sebagai pilihan pertama ialah ampisilin, kotrimoksazol, asam nalidiksat dan nitrofurantoin.
Sebagai pilhan kedua dapat dipakai obat golongan aminoglikosid
seperti gentamicin, sisomisin, amikasin dan lain-lain, sefaleksin, doksisiklin
dan sebagainya. Pengobatan diberikan selama 7 hari.
2.
Pengobalan dan pencegahan
infeksi berulang
Dalam pengamatan selanjutnya 30-50%
penderita akan mengalami infeksi berulang dan sekitar 50% diantaranya tanpa
gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan biakan ulang pada minggu pertama
sesudah selesai pengobatan fase akut, kemudian 1 bulan, 3 bulan dan seterusnya
setiap 3 bulan selama 2 tahun. Setiap infeksi berulang harus diobati seperti
pengobatan pada fase akut. Bila relaps atau reinfeksi terjadi lebih dari 2
kali, maka pengobatan dilanjutkan dengan pengobatan profilaksis, dengan
obat-obat antisepsis urin, yaitu nitrofurantoin, kotrimoksazolsefaleksin atau
metcnamin mandelat. Pada umumnya diberikan seperempat dosis normal, satu kali
sehari pada malam hari selama 3 bulan. Bila ISK disertai dengan kelainan
anatomis (ISK kompleks atau complicated urinary infection) maka hasil
pengobatan biasanya kurang memuaskan. Pemberian obat disesuaikan dengan hasil
uji resistensi dan dilakukan dengan terapi profilaksis selama 6 bulan dan bila
perlu sampai 2 tahun.
- Koreksi pembedahan
Bila ada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya
obstruksi maka perlu stadiumnya. Refluks stadium I sampai III biasanya akan
menghilang dengan pengobatan terhadap infeksinya. Pada stadium IV perlu
dilakukan koreksi bedah yaitu dengan reimplantasi ureter pada kandung kemih
(ureteroneositostomi). Pada keadaan-keadaan tertentu misalnya pada pionefrosis
atau pada pielonefritis atrotlk kromk, tindakan nefrotomi kadang-kadang perlu
dilakukan.
Antibiotik peroral :
·
Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar
50% bakteri penyebab ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih
dapat diberikan pada ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya
·
Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg
trimethoprim/kg/hari dalam 2 dosis. Sebagian besar ISK akan menunjukkan
perbaikan dengan cotrimoxazole. Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang
lebih besar pada pengobatan dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin.
·
Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin.
Cephalexin kira-kira sama efektif dengan cotrimoxazole, namun lebih mahal dan
memiliki spectrum luas sehingga dapat mengganggu bakteri normal usus atau
menyebabkan berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak perempuan.
·
Co-amoxiclav digunakan pada ISK dengan bakteri yang
resisten terhadap cotrimoxazole. Harganya juga lebih mahal dari cotrimoxazole
atau cephalexin.
·
Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau
nitrofurantoin tidak digunakan pada anak-anak yang dikhawatirkan mengalami
keterlibatan ginjal pada ISK. Selain itu nitrofurantoin juga lebih mahal dari
cotrimoxazole dan memiliki efek samping seperti mual dan muntah.
BAB II
KONSEP DASAR
KEPERAWATAN
2.1. Pengkajian
2.2. Diagnosa Keperawatan
2.3. Rencana Intervensi
2.4. Pemeriksaan Diagnostik
2.5. Tindakan Medis
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar