Minggu, 21 Februari 2016

frambusia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena sering diabaikan yaitu Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat sangat penting dalam menemukan penderita dan melaporkan ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastik dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.

B.     RUMUSAN MASALAH
·         Apa yang di maksud dengan frambusia?
·         Bagaimana epidemiologi dari penyakit frambusia?
·         Bagaimana etilogi penyakit frambusia?
·         Bagaimana manifestasi klinis  frambusia?
·         Bagaimana upaya pencegahan frambusia?
·         Bagaimana pengobatan frambusia

C.    TUJUAN
·         Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian frambusia
·         Agar mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi dari penyakit frambusia.
·         Agar mahasiswa dapat mengetahui etiologi frambusia
·         Agar mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis frambusia
·         Agar mahasiswa dapat mengetahui upaya pencegahan frambusia
·         Agar mahasiswa dapat mengetahui pengobatan frambusia.










BAB II
PEMBAHASAN


A.PENGERTIAN FRAMBOESIA
Framboesia atau Patek ( kamus kedokteran ). Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang menyebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”.
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Framboesia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..

B. EPIDEMIOLOGI FRAMBUSIA
Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus  per 100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu  pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan.
1.      Agent
Penyebab penyakit frambusia adalahTreponema pallidum, subspesies pertenue dari spirochaeta. Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
a.       Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
b.      Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c.       Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d.      Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e.       Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
f.       Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.
2.      Host
Manusia dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit ini. Ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki.
3.      Environment
Lingkungan Fisik:
Di daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Lingkungan social ekonomi:
Kepadatan penduduk, kurangnya persediaan air bersih, dan keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk, baik perorangan maupun pemukiman.
Kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit Framboesia.
Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita.

C.PENYEBAB ATAU ETIOLOGI PENYAKIT FRAMBOESIA
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual pada umumnya menyerang anak – anak berusia di bawah 15 tahun., yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Jadi, penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah – daerah terpencil yang sulit dijangkau. Bisa dikatakan bahwa “penyakit frambusia bermula dimana jalan berakhir”.

Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
1)      Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
2)      Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
3)      Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
4)      Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
5)      Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
6)      Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.

D.    FAKTOR RESIKO
1. Distribusi
Terutama menyerang anak-anak yang tinggal didaerah tropis di pedesaan yang panas, lembab, lebih sering ditemukan pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an, namun penyakit frambusia muncul lagi di sebagian besar daerah katulistiwa dan afrika barat dengan penyebaran fokus-fokus infeksi tetap di daerah Amerika latin, kepulauan Karibia, India, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan.
2. Determinan
Faktor penyebab penyakit Framboesia adalah Treponema pallidum sub spesies pertenue. Namun bukan hanya Agen saja tetapi lingkungan si penjamu juga dapat mempengaruhi timbulnya penyakit Framboesia seperti sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyrakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk, kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit Framboesia.


E.     PATOFISIOLOGI FRAMBUSIA
Frambusia di sebabkan oleh Treponemaa Pallidum, yang disebabkan karena kontak langsung dengan penderita ataupun kontak tidak langsung. Treponema palidum ini biasanya menyerang kulit dan tulang.
Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak didalam jaringan penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah,  lembab, tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang  dan persendian. Apabila tidak segera diobati agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian.
Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan tulang ektermitas yang menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi dengan gambaran-gambaran hilangnya bentuk hidung. Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang meninggalkan jaringan parut dapat membentuk keloid dan kontraktur.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan.  Pada mayoritas pasien, penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi. Walaupun hamper seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 – 10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta jaringan halus, yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma social.
Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi:
a.       pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri frambusia;
b.      secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit;
c.       latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada;
d.      tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,


F.     JENIS KLASIFIKASI
Jenis klasifikasi penyakit framboesia yaitu penyakit menular melalui :
1)      Dapat menular melalui air yaitu terbukti dengan banyaknya para penderita penyakit Framboesia di daerah yang sanitasi air dan lingkungannya tidak terjaga atau kotor yang dapat memungkinkan Agen untuk berkembang biak dan menulari Penjamu.
2)      Dapat menular melalui kulit yaitu dengan melakukan kontak langsung penderita yang dimana si Agen berkembang biak di si penderita.

G.    RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan akan mengakibatkan disabilitas dimana sekitar 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati akan cacat seumur hidup dan menimbulkan stigma social, yang tentunya akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, hal inilah kemudian menjadi tantangan bagi seorang publich health dalam mencegah timbulnya penyakit tersebut dan memperpanjang masa hidup seseorang.


H.    MANIFESTASI KLINIS FRAMBUSIA
Gejala klinis terdiri atas 3 Stadium yaitu :
a)     Stadium I :
Stadium ini dikenal juga stadium menular. Masa inkubasi rata-rata 3 minggu atau dalam kisaran 3-90 hari. Lesi initial berupa papiloma pada port d’ entre yang berbentuk seperti buah arbei, permukaan basah, lembab , tidak bernanah, sembuh spontan tanpa meninggalkan bekas, kadang-kadang disertai peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian kemudian, papula-papula menyebar yang sembuh setelah 1-3 bulan. Lesi intinial berlangsung beberapa minggu dan beberapa bulan kemudian sembuh. Lesi ini sering ditemukan disekitar rongga mulut, di dubur dan vagina, dan  mirip  kandilomatalata pada sipilis. Gejala ini pun sembuh tanpa meninggalkan parut, walaupun terkadang dengan pigmentasi. selain itu terdapat semacam papiloma pada tapak tangan atau kaki, dan biasanya lembab. Gejala pada kulit dapat berupa macula, macula papulosa, papula, mikropapula, nodula, tanpa menunjukan kerusakan struktur pada lapisan epidermis serta tidak bereksudasi. Bentuk lesi primer ini adalah bentuk yang menular.

b)     Stadium II atau masa peralihan :
Pada stadium ini, di tempat lesi ditemukan treponema palidum pertinue. Treponema positif ini terjadi setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah stadium I. Pada stadium ini frambusia tidak menular dengan bermacam-macam bentuk gambaran klinis, berupa hyperkeratosis. Kelainan pada tulang dan sendi sering  mengenai jari-jari dan tulang ekstermitas, yang dapat mengakibatkan terjadi atrofi kuku dan deformasi ganggosa, yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi  dengan gambaran-gambaran hilangnya bentuk hidung, gondou ( suatu bentuk ostitis hipertofi ), meskipun jarang dijumpai. Kelainan sendi, hidrartosis, serta junksta artikular nodular ( nodula subkutan, mudah bergerak, kenyal, multiple), biasanya ditemukan di pergelangan kaki dekat kaput fibulae, daerah akral atau plantar dan palmar.

c)     Stadium III :
Pada stadium ini , terjadi guma atau ulkus-ulkus indolen dengan tepi yang curam atau bergaung, bila sembuh, lesi ini meninggalkan jaringan parut, dapat membentuk keloid dan kontraktur. Bila terjadi infeksi pada tulang dapat mengakibatkan kecacatan dan kerusakan pada tulang. Kerusakan sering terjadi pada palatum, tulang hidung, tibia.
Manifestasi klinis frambusia juga dibagi dalam beberapa tahap, antara lain :
a)      Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala penyakit. Namun, tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.
b)      Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Frambusia adalah dari 2 sampai 3 minggu
c)      Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
d)     Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).
e)      Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga kemungkinan, yaitu:
1.             Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 %  dari penderita.
2.             Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh.
3.             Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan menimbulkan cacat kepada si penderita.


I.       RESERVOIR DAN CARA PENULARAN
1. Reservoir
Manusia dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit ini.
2. Cara Penularan
Prinsipnya berdasarkan kontak langsung dengan eksudat pada lesi awal dari kulit orang yang terkena infeksi. Penularan tidak langsung melalui kontaminasi akibat menggaruk, barang-barang yang kontak dengan kulit dan mungkin juga melalui lalat yang hinggap pada luka terbuka, namun hal ini belum pasti. Suhu juga mempengaruhi morfologi, distribusi dan tingkat infeksi dari lesi awal.

Cara Penularan Frambusia
Penularan  penyakit  frambusia  dapat  terjadi  secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :
a.       Penularan secara langsung (direct contact).
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga terjadi  dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.
b.      Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.  Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan:
1.      Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
2.      Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005). Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).
·         Masa Inkubasi
Dari 2 hingga 3 minggu
·         Masa Penularan
Masa penularan bervariasi dan dapat memanjang yang muncul secara intermiten selama beberapa tahun barupa lesi basah. Bakteri penyebab infeksi biasanya sudah tidak ditemukan pada lesi destruktif stadium akhir.
·         Kerentanan dan Kekebalan
Tidak ada bukti adanya kekebalan alamiah atau adanya kekebalan pada ras tertentu. Infeksi menyebabkan timbulnya kekebalan terhadap reinfeksi dan dapat melindungi orang tersebut terhadap infeksi dari kuman golongan treponema lain yang patogen.

J.      DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan treponema, VDRL, TPHA, dan pada keadaan tertentu, diperlukan pemeriksaan patologi. Mikroskop pandangan gelap, pada fase dini, diperlukan untuk pemeriksaan treponema. Dapat pula diaplikasikan pengecatan giemsa, Ziel-Nelson atauu tinta Hindia untuk pemeriksaan Burry.
Menurut  Noordhoek, et al, (1990) Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (Venereal Disease Research Laboratory), RPR (Rapid Plasma Reagin) reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (Fluorescent Trepanomal Antibody – Absorbed), MHA-TP (Microhemagglutination assay for antibody to T. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.
Dan dapat dilakukan dengan 3 metode dalam Epidemiologi yaitu :
1        Anamnese
2        Tanda (Sign)
3        Tes (Uji/Pemeriksaan)


K. UPAYA PENCEGAHAN

a. Upaya Pencegahan (tahap Prepatogenesis)
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebut sulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja. Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non venereal lainnya.
1.      Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab, lingkungan serta factor penjamu.
a.       Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan sumebr penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
b.      Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan kehidupan sosial masayarakat.
c.        Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.

2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi.
a. Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif.
b. Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.

3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.
a. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Masyarakat (tahap Patogenesis)
1. Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada periode selanjutnya.
2. Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
3. Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
4. Karantina: Tidak perlu
5. Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu
6. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
7. Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun.
b. Upaya Penanggulan Wabah (Tahap Pasca Patogenesis)
Dengan melakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
1. Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan.
2. Pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif.
3. Melakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.

J. Program Pemberantasan
Strategi Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.

9. Cara – cara pemberantasan
A. Upaya pencegahan: Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebutsulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja.
Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk
manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non venereal
lainnya.
1) Lakukanlah upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang treponematosis, jelaskan kepada masyarakat untuk memahami pentingnya menjaga kebersihan perorangan dan sanitasi-sanitasi yang baik, termasuk penggunaan air dan sabun yang cukup dan pentingnya untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi dalam jangka waktu panjang untuk mengurangi angka kejadian.
2) Mengorganisir masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik diwilayah tersebut;
periksalah seluruh anggota masyarakat dan obati penderita dengan gejala aktif atau laten. Pengobatan kontak yang asimtomatis perlu dilakukan dan pengobatan terhadap seluruh populasi perlu dilakukan jika prevalensi penderita dengan gejala aktif lebih dari 10%. Survei klinis secara rutin dan surveilans yang berkesinambungan merupakan kunci sukses upaya pemberantasan.
3) Survey serologis untuk penderita laten perlu dilakukan terutama pada anak-anak untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi infektif yang menyebabkan penularan penyakit pada komunitas tetap berlangsung.
4) Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mamadai untuk dapat melakukan diagnosa dini dan pengobatan dini sebagai bagian dari rencana kampanye pemberantasan di masyarakat (lihat butir 9A2 di atas). Hendaknya fasilitas diagnosa dan pengobatan dini terhadap frambusia ini merupakan bagian yang terintegrasi pada fasilitas pelayanan kesehatan setempat yang permanen.
5) Lakukan penanganan terhadap penderita cacat dan penderita dengan gejala lanjut.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada periode selanjutnya.

2) Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi
lingkungan sampai luka sembuh.
3) Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan
discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
4) Karantina: Tidak perlu
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun.
C. Upaya penanggulangan wabah:
 Lakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
1)      pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan;
2)      pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif; 3) lakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.

D. Implikasi bencana: Tidak pernah terjadi penularan pada situasi bencana tetapi potensi ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas sanitasi yang memadai.

E. Tindakan Internasional:
Untuk melindungi suatu negara dari risiko timbulnya reinfeksi yang sedang melakukan program pengobatan massal aktif untuk masyarakat,
maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan (lihat sifilis bagian I, 9E). Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO.

Komplikasi
Tanpa pengobatan, sekitar 10% dari individu yang terkena mengembangkan menodai dan melumpuhkan komplikasi setelah lima tahun karena penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan berat pada kulit dan tulang. Hal ini juga dapat menyebabkan kelainan bentuk rahang kaki, hidung, langit-langit dan bagian atas.


L PENGOBATAN FRAMBUSIA
Pengobatan framboesia dilakukan dengan memberikan antibiotika. Antibiotika golongan penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila penderita alergi terhadap penicillin, dapat diberikan antibiotika tetrasiklin, eritromisin atau doksisiklin.
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang dewasa dan untuk 1,2 juta unit untuk anak-anak. Hingga saat ini, penisilin merupakan obat pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan tetrasiklin atau eritromisin 2 gr/hari selama 5-10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, bahwa pilihan pengobatan utama adalah benzatin penisilin, dan pengobatan alternatif dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.

Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut :
a)             Bila sero positif  >50%  atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
b)            Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan.
c)             Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan.
d)            Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan  seluruh murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb:

Tabel 1. Dosis dan cara pengobatan frambusia
Pilihan utama
Umur
Nama obat
Dosis
Pemberian
Lama pemberian
< 10 thn
Benz.penisilin
600.000 IU
IM
Dosis Tunggal
≥ 10 tahun
Benz.penisilin
1.200.000 IU
IM
Dosis Tunggal
Alternatif
< 8 tahun
Eritromisin
30mg/kgBB bagi 4 dosis
Oral
15 hari
8-15 tahun
Tetra atau erit.
250mg,4×1 hri
Oral
15 hari
>8 tahun
Doxiciclin
2-5mg/kgBB bagi 4 dosis
Oral
15 hari
Dewasa
100mg 2×1 hari
Oral
15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun
(Sumber: Pedoman Eradikasi Frambusia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan, 2007)

DIAGNOSA KEPERAWATAN :
Ø  Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi
Ø  Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun.
Ø  Gangguan mobilisasi b/d kecacatan
Ø  Gangguan citra tubuh  b/d perubahan postur tubuh
Ø  Ansietas b/d perubahan kesehatan.
Ø  Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit

     ASUHAN KEPERAWATAN
Tabel 2. Asuhan keperawatan Klien dengan Frambusia
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Perencanaan Keperawatan
Intervensi
Rasional
1
Kerusakan Integritas Kulit b/d Adanya Lesi
Untuk memelihara integritas kulit/mencapai penyembuhan tepat waktu
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi. Amati perubahan lesi
Pertahankan hygiene kulit. Misalnya dengan membasuh dan mengeringkannya dengan hati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim
 Gunting kuku secara teratur

Kolaborasi pemberian obat topical atau sistemik
Kolaborasi pemberian salep antibiotik untuk melindungi lesi
Menentukan garis dasar dimana terjadi perubahan pada status

Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan menambah kenyamanan




Kuku yang panjang / kasar menimbulkan resiko kerusakan kulit
Digunakan pada perawatan lesi kulit

Melindungi area dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan
2
Gangguan Mobilisasi b/d Kecacatan
Mobilisasi fisik terpenuhi,
  Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur pengobatan dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.


  Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan kursi roda.


  Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodic.

  Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.
Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi klien terhadap immobilisasi akan dapat menemukan aktivitas mana saja yang perlu dilakukan.
Dengan ambulasi demikian klien dapat mengenal dan menggunakan alat-alat yang perlu digunakan oleh klien dan juga untuk memenuhi aktivitas klien
Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya kontraktur.
Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk dan turun dari tempat tidur.

3
Gangguan Citra Tubuh b/d Perubahan Postur Tubuh
Pasien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri
  Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak pada kondisi kulit
  Berikan kesempatan untuk pasien mengungkapkan. Dengarkan dengan cara yang terbuka dan tidak menghakimi untuk mengekspresikan berduka atau ansietas tentang perubahan citra tubuh
  Bersikap realistis selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan

  Jangan memberikan keyakinan yang salah






  Dorong interaksi keluarga dan dengan rehabilitasi
Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan byata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada dirinya sendiri
Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami. Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri





Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dengan perawat
Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita
Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan terus-menerus pada pasien dan keluarga
4
 Resiko Terjadi Infeksi b/d Kerusakan Pada Kulit, Pertahanan Tubuh Menurun
·  Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi
  Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu








  Tekankan pentingnya tekhnik mencuci tangan yang baik untuk semua individu yang kontak dengan pasien
  Gunakan sapu tangan, masker dan tekhnik aseptic selama perawatan dan berikan pakaian yang steril atau baru
  Observasi lesi secara periodic

  Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik. Periksa pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan  kewaspadaan sesuai indikasi
  Kolaborasi pemberian preparat antibiotic dengan dokter
Memberikan informasi data dasar. Peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menunjukkan pada tubuh bereaksi pada proses infeksi yang baru.
  Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resikoinfeksi


  Mencegah terpajan pada organism infeksius



  Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi
  Mengurangi pathogen pada system integument dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nosocomial


  Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi
5
·     Ansietas b/d Perubahan Kesehatan
Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat menerima perubahan status kesehatannnya dengan cara sehat
  Berikan penjelasan yang sering dan informasi tentang prosedur perawatan




  Libatkan pasien atau orang yang terdekat dalam proses pengambilan keputusan
  Kaji status mental terhadap penyakit




  Berikan orientasi konstan dan konsisten


  Dorong pasien untuk bicara tentang penyakitnya




  Jelaskan pada pasien apa yang terjadi.Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka atau jujur


  Identifikasi metode koping atau penangan siuasi stress sebelumnya

  Dorong keluarga dan orang yang terdekat untuk mengunjungi dan mendiskusikan yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan pasien kejadian masa lalu dan akan dating

  Kolaborasi sedative ringan sesuai indikasi
Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, dan memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama
Meningkatkan rasa control dan kerja sama, menurunkan perasaan tak berdaya atau putus asa
Pada awalnya pasien dapat menggunakan penyangkalan untuk meurunkan dan menyaring informasi secara keseluruhan
Membantu pasien tetap berhubungan dengan lingkungan dan realitas
Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus-menerus untuk membantu beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan
Pernyataan kompensasi menujukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang yang terdekat menerima realita dan mulai menerima apa yang terjadi
Perilaku masa lalu yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi saat ini
Mempertahankan kontak dengan realitas keluarga, membuat rasa kedekatan dan kesinambunga hidup





Obat ansietas diperlukan untuk periode singkat sampai pasien lebih stabil secara psikis
6
· Kurang Pengetahuan b/d Kurang Informasi Terhadap Perawatan Kulit
Pasien mendapatkan informasi yang adekuat tentang perawatan kulit
  Tentukan apakah pasien mengetahui tentang kondisi dirinya
  Pantau agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan persepsi informasi
  Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan
  Jelaskan penatalaksanaan minum obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama
  Dorong pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat









  Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi
Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan
Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat diperbuat


Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien
 Meningkatkan partisipasi pasien, memahami aturan terapi dan mencegah putus obat


Penampakkan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan kulit dapat menandakan  status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan
Dukungan jangka panjang dengan evaluasi ulang continue dan perubahan terapi dibutuhkan untuk penyembuhan optimal




BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat.
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit menular bukan seksual pada manusia yang pada umumnya menyerang anak-anak berusia di bawah 15 tahun.
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. 
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas berkisar antara 3-6 minggu.
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan yaitu Infeksi effective dan Infeksi ineffective. Terdapat 3 stadium Frambusia yang dikenal, yakni : Stadium Primer, Stadium Sekunder, dan Stadium Tersier.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin). Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay for antibody to t. pallidum).
Pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian Tetrasiklin, Doxicicline, dan Eritromisin.
Pencegahan dan Pemberantasan penyakit Frambusia dapat dilakukan dengan cara yaitu : Upaya Pencegahan; Pengawasan Penderita, Kontak, dan Lingkungan Sekitarnya; dan Upaya Penanggulangan Wabah.
Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada penyakit Frambusia adalah Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi, Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun, Gangguan mobilisasi b/d kecacatan, Gangguan citra tubuh  b/d perubahan postur tubuh, Ansietas b/d perubahan kesehatan, dan Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit.

B. SARAN
Sebagai mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui tentang penyakit Frambusia. Hal ini ditujukan apabila mahasiswa menemukan kasus Frambusia di lingkungannya, agar dapat melakukan tindakan lebih awal pada klien dengan Frambusia. Selain itu, rencana asuhan keperawatan pada klien dengan Frambusia sangat penting dipelajari mahasiswa agar dapat membuat rencana asuhan keperawatan tentang Frambusia dan merawat klien jika berhadapan langsung pada klien dengan Frambusia.
Berikut ini ada beberapa hal penting dalam strategi pemberantasan Penyakit Frambusia yang terdiri dari 4 hal pokok, yaitu :
1.         Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan penderita.
2.         Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3.         Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4.         Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi. 




DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Eradikasi Frambusia. 2007. Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan.
Solution, Heroes. 2010. Penyakit Frambusia/Patek/Yaws.
Syahreza, Lissa. 2011. Frambosia.

http://petrus88.blogspot.com/2012/04/asuhan-keperawatan-frambusia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar