BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Untuk menjelaskan permasalahan ini
kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu secara ringkas tentang filsafat ilmu
dan epistemologi, demikian juga tentang definisi keduanya. Kemudian menjelaskan
ihwal perbedaan dan hubungan yang terajut di antara keduanya.
Epistemologi
yang merupakan bagian dari filsafat bermakna mengenal pengetahuan. Artinya
tentang bagaimana kita dapat mencapai pengetahuan dan pengenalan. Dalam
definisi tentang epsitemologi disebutkan bahwa epsitemologi adalah cabang
filsafat yang membahas tentang pengenalan-pengenalan manusia, penilaian jenis
dan penentuan kriteria benar-salahnya pengetahuan.[1] Karena itu,
subyek epistemologi adalah mutlak pengenalan dan pengetahuan.
Dengan melihat secara selintasan
terhadap masalah-masalah filsafat ilmu-ilmu dapat ditilik bahwa bagian
pentingnya terbentuk dari masalah-masalah epistemologi.
Sebagai misal pada filsafat
ilmu-ilmu empirik masalah ini mengemuka bahwa apa yang menjadi kriteria benar
dan salahnya proposisi-proposisi empirik? Atau apakah hanya indera yang
memiliki kemampuan untuk menyingkap hakikat? Dan sebagainya. Sekarang, dengan memperhatikan
contoh-contoh yang disebutkan, apakah perbedaan antara epistemologi dan
filsafat ilmu-ilmu dapat dirasakan? Dengan menyimak secara seksama pada dua
disiplin ilmu ini kita jumpai bahwa kebanyakan masalah-masalah tersebut adalah
satu. Karena itu, kita sampai pada kesimpulan bahwa bagian inti filsafat ilmu
adalah pembahasan epistemologi. Namun perbedaannya sebagaimana yang disinggung
di atas terletak pada mutlak dan bersyaratnya epistemologi. Karena dalam
filsafat ilmu-ilmu mengulas pembahasan khusus dan dibandingkan dengan
epistemologi sifatnya lebih terbatas. Karena itu, epistemologi dibagi dua
menjadi epistemologi mutlak dan bersyarat. Dan filsafat ilmu-ilmu tergolong
sebagai epistemologi bersyarat sebagai lawan kata dari epistemologi itu sendiri.
Karena memiliki keluasan yang lebih dan dipandang sebagai sebuah epistemologi
mutlak.
Sebagai hasilnya epistemologi dan
filsafat ilmu-ilmu sangat dekat satu dengan yang lain. Akan tetapi pada
epistemologi kita membahas secara mutlak pengetahuan. Sementara dalam filsafat
ilmu dibahas secara khusus dan terbatas. Dan hubungan di antara keduanya adalah
hubungan umum dan khusus mutlak (dalam bahasa penanya, beririsan). Artinya
epistemologi lebih umum daripada filsafat ilmu.
Namun semenjak kapan filsafat ilmu mengemuka
sebagai satu disiplin ilmu tersendiri dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu
dihubungkan dengan kebanyakan cabang lain filsafat, filsafat ilmu ini masih
tergolong baru dan belia. Apabila sebagian pandangan Aristoteles, Francis Bacon
pada abad ke-16, dan sebagian kecil pemikir abad ke-19, kecuali Stuart Mill dan
Husserl, maka pembahasan-pembahasan seriusnya secara terfokus dan detil pertama
kalinya pada abad ke-20 disebarkan oleh puak Positivisme lagi.
B.Rumusan Masalah
·
Apa yang dimaksud dengan filsafah
ilmu?
·
Apa yang dimaksud dengan
epistemologi?
·
Bagaimana hubungan filsafat ilmu
dengan epistemologi?
C.Tujuan
·
Untuk mengetahui apa itu filsafat
ilmu.
·
Untuk mengetahui apa itu
epistemologi.
·
Untuk mengetahui bagaimana hubungan
filsafat ilmu dengan epistemologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A Filsafat
Ilmu
1.
Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun
istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang
terdiri atas dua
kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) dan shopia
(hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman
praktis,
inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta
kebijaksanaan atau
kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof)
dalam
pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan
arabisasi
yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia
filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal
sebagaimana ia
juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka
sophist (kaum
sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan
persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan
hujah-hujah
yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami
2
reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena
kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian
dengan
kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis
(cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang
sebelum
Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang
dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni,
filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis
mencakup: (1) ilmu
pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan
dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma
(akhlak); (2)
urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami
segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti
filsafat
merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif,
sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi
suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima
atau
ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu
titik
tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah
falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan
pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang
bertanya
tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan
bahwa
“falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak
dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi
dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk
ini,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu
dan
akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam
sebuah
dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan
sebuah
bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut
kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan
sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa
yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang
bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles
(382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu
metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan
filosof
lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari
semua
ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur
dan
keinginan untuk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat
filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal
segala.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika
hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri.
Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya
dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan
membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan
tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada
langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya
bahwa
ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses
penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah
kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti
sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan
menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan
titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya
dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis
maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang
logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal,
President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik ini.
Ada
banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang
dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya
percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia
menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti
logika
aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian
tentang
materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak
mendefenisikan
ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak
orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang ada
hanya
pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah
selesai.
“ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai
cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai
betulbetul
terang”.
1.2. Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak
kirakira
abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berpikirpikir
dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar
mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk
mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya
mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab
lain
kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak
ada kasta
pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales
dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi
filosof-filosof Yunani
yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Socrates
adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan
ada
yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah
“komentarkomentar
karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang
sangat besar pada sejarah filsafat.
Filsafat
ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaiknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kelahiran filsafat di Yunani
menunjukkan pola pemikiran bangsa Yunani dari pandangan mitologi akhirnya
lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang dominan.
Perubahan dari pola pikir mite-mite
kerasio membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya, yang
selama itu ditakuti kemudian didekati dan bahkan bisa dikuasai. Perubahan yang
mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang
menjelaskan perubahan yang terjadi, baik alam semesta maupun pada manusia
sendiri.
2. Objek
Filsafat
a.Objek Material filsafat
Yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan
penelitian atau pembentukan pengetahuan itu atau hal yang di selidiki, di
Pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik
hal-hal yang konkrit ataupun yang abstrak.
Menurut Drs. H.A.Dardiri bahwa objek
material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam
kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi
dua, yaitu:
- Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu
yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
- Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu
ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia
(antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).
b.
Objek Formal filsafat
Yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada
bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana
objek material itu di sorot.
Contoh : Objek materialnya adalah manusia dan manusia
ini di tinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu
yang mempelajari manusia di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan
lain sebagainya.
B. EPISTEMOLOGI
1.Pegertian Epistemologi
Istilah epistemologi didalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari kata “episteme”
dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Ada beberapa
pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan
untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti
pengetahuan, dan logos berarti teori.
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses
adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Menurut Dagobert D.Runes epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi
sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan
validitas ilmu pengetahuan”.
Jadi, Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan.
Epistemologi (filsafat
ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi
merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya
menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal
(mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan
sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi
itu sendiri. Secara linguistic kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani
yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori,
uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang
pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.
Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang
benar dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan. Secara
terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau
ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari
epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang
baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab
pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat
menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi
epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan
jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam
epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia
tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu
lainnya.
Epitemologi merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan
ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam
upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau
kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan
yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model‑model epistemologik
seperti rasionalisme, empirisme, Epistemologi juga membahas bagaimana menilai
kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi
pengetahuan (ilmiah). Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar
dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman
secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung
bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan
karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains)
diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode
ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa,
matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif
dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis
dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode
ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari
kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang
telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori
tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran
suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun
pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran
mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena
kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami
penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan
berkembang.
2. OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan
tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara
cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran,
sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi objek dan
tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri
berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran
teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan,
sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam
mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa
suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal
ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin
memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
3. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah;
yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang
tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu
layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat
penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Metode ilmiah telah dijadikan pedoman
dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu.
Menurut Burhanudin Salam Metode ilmiah dapat
dideskripsikan dalam langkah-langkah sebagai berikut :
(1) Penemuan
atau Penentuan masalah. Di sini secara sadar kita menetapkan masalah yang
akan kita telaah denga ruang lingkup dan batas-batasanya. Ruang lingkup
permasalahan ini harus jelas. Demikian juga batasan-batasannya, sebab tanpa
kejelasan ini kita akan mengalami kesukaran dalam melangkah kepada kegiatan
berikutnya, yakni perumusan kerangka masalah;
(2) Perumusan
Kerangka Masalah merupakan usaha untuk mendeskrisipakn masalah dengan lebih
jelas. Pada langkah ini kita mengidentifikasikan faktor-faktor yang terlibat dalam
masalah tersebut. Faktor-faktor tersebut membentuk suatu masalah yang berwujud gejala yang
sedang kita telaah.
(3) Pengajuan hipotesis merupakan
usaha kita untuk memberikan penjelasan sementara menge-nai hubungan
sebab-akibat yang mengikat faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah
tersebut di atas. Hipotesis ini pada hakekatnya merupakan hasil suatu penalaran
induktif deduktif dengan mempergunakan pengetahuan yang sudah kita ketahui
kebenarannya.
(4) Hipotesis
dari Deduksi merupakan merupakan langkah perantara dalam usaha kita untuk
menguji hipotesis yang diajukan. Secara deduktif kita menjabarkan
konsekuensinya secara empiris. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa deduksi
hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat
dalam dunia fisik yang nyata, dalam hubungannya dengan hipotesis yang kita
ajukan.
(5) Pembuktian
hipotesis merupakan usaha untuk megunpulkan fakta-fakta sebagaimana telah
disebutkan di atas. Kalau fakta-fakta tersebut memag ada dalam dunia empiris
kita, maka dinyatakan bahwa hipotesis itu telah terbukti, sebab didukung oleh
fakta-fakta yang nyata. Dalam hal hipotesis itu tidak terbukti, maka hipotesis
itu ditolak kebenarannya dan kita kembali mengajukan hipotesis yang lain,
sampai kita menemukan hipotesis tertentu yang didukung oleh fakta.
(6)
Penerimaan Hipotesis menjadi teori Ilmiah hipotesis yang telah terbukti
kebenarannya dianggap merupakan pengetahuan baru dan diterima sebagai bagain
dari ilmu. Atau dengan kata lain hipotesis tersebut sekarang dapat kita anggap
sebagai (bagian dari) suatu teori ilmiah dapat diartikan sebagai suatu penjelasan
teoritis megnenai suatu gejala tertentu. Pengetahuan ini dapat kita gunakan
untuk penelaahan selanjutnya, yakni sebagai premis dalam usaha kita untuk
menjelaskan berbagai gejala yang lainnya. Dengan demikian maka proses kegiatan
ilmiah mulai berputar lagi dalam suatu daur sebagaimana yang telah ditempuh
dalam rangka mendapakan teori ilmiah tersebut.
3.1. Beberapa Jenis Metode
Ilmiah
Menurut Burhanudin Salam beberapa jenis metode ilmiah yaitu :
1. Observasi
Beberapa ilmu seperti astronomi dan botani telah dikembangkan secara cermat
dengan metode observasi. Didalam metode observasi melingkupi pengamatan indrawi
seperti : melihat, mendengar, menyentuh, meraba.
2. Trial and
Error
Teknik yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan baik metode, teknik,
materi, parameter-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu, memerlukan waktu
yang lama dan biaya yang tinggi.
3. Metode
eksperimen
Kegiatan ekperimen adalah berdasarkan pada prinsip metode penemuan sebab akibat
dan pengajuan hipotesis. Peranan metode ini adalah hanya untuk membedakan satu
faktor atau kondisi pada suatu waktu, sedangkan faktor-faktor lainnya
diusahakan tidak berubah atau tetap.
4. Metode
Statistik
Istilah statistik berarti pengetahuan tentang mengumpulkan, menganalisis dan
menggolongkan data sebagai dasar induksi. Metode statistik telah ada sejak
lama, yaitu untuk membantu pemimpin dan penguasa mengumpulkan data tentang
penduduk, kematian, kesehatan dan perpajakan. Metode statistik ini telah
berkembang dan lebih menarik minat lagi, sehingga metode statistik dipakai
dalam kehidupan sehari-hari misalnya perdagangan, peredaran uang dan lain
sebagainya. Statistik memungkinkan kita untuk menjelaskan sebab dan akibat dan
pengaruhnya, melukiskan tipe-tipe dari fenomena-fenomena dan kita dapat membuat
perbandingan-perbandingan dengan mempergunakan tabel-tabel dan grafik.
Statistik juga dapat meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang dengan
tingkat ketepatan yang tinggi.
5. Metode
Sampling
Terjadinya sampling, yaitu apabila kita mengambil beberapa anggota atau
bilangan tertentu dari suatu kelas atau kelompok sebagai wakil dari keseluruhan
kelompok tersebut dapat mewakli secara keseluruhan atau tidak. Seandainya bahan
yang akan kita uji itu menunjukkan kesamaan jenisnya melalui sebuah sampel
dapatlah diperoleh hasil dengan ketepatan yang tinggi.
6. Metode
Berpikir Reflective
Metode reflective thinking pada umumnya melalui enam tahap, yaitu :
a. Adanya kesadaran kepada sesuatu masalah
b. Data yang diperoleh dan relevan yang harus dikumpulkan
c. Data yang terorganisasi
d. Formulasi Hipotesis
e. Deduksi Hipotesis
f. Deduksi harus berasal dari hipotesis
g. Pembuktian kebenaran verifikasi
Johson
(2005) dalam
arkelnya yang berjudul ”Educational Research :
Quantitative and Qualitative”, yang termuat
dalam situs internet membedakan metoda ilmiah menjadi
dua metoda deduktif dan metoda induktif.
Menurut Johnson, metode deduktif terdiri tiga langkah utama, yaitu : first,
state the hypothesis (based on theory or research literature); nex, collect
data to test hypothesis; finally, make
decision to accept or reject the
hypothesis. Sedangkan tahapan utama metoda
induktif menurut Johnson adalah : first, observe the world; next, search for a
pattern in what is observed; and finally, make a generalization about what
is occuring. Kedua metoda tersebut selanjutnya
oleh Johnson divisualisasikan sebagai berikut.
Metoda deduktif merupakan metoda
ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kuantitatif. Dalam metoda ini teori
ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran
selanjutnya. Sedangkan metoda
induktif merupakan
metoda yang diterapkan
dalam penelitian
kualitatif.
Penelitian ini dimulai dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan teori.
·
Metoda Deduktif
Jujun S. Suriasumantri dalam
bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial,
dan Politik (1996 : 6) menyatakan
bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan
cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya
berdasarkan :
a) kerangka pemikiran
yang bersifat logis dengan argumentasi yang
bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya
yang telah berhasil disusun;
b) menjabarkan hipotesis yang
merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut; dan
c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud
untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual.
Selanjutnya Jujun menyatakan
bahwa kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico-hypothetico-verifikatifn ini pada dasarnya terdiri
dari langkah-langkah sebagai berikut (2005 : 127-128).
a) Perumusan masalah, yang
merupakan pertanyaan mengenai
objek empiris yang jelas batas-batasnya
serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan
hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin terdapat antara berbagai faktor
yang saling mengait dan membentuk
konstelasi permasalahan.
Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis
ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
c) Perumusan hipotesis yang
merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan
yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir
yang dikembangkan.
d) Pengujian hipotesis yang
merupakan pengumpulan fakta- fakta yang relevan
dengan hipotesis, yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipoteisis tersebut
atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan yang
merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima.
·
Metoda
Induktif
Metoda induktif merupakan metoda ilmiah yang
diterapkan dalam penelitian kualitatif. Metoda ini
memiliki dua macam tahapan : tahapan
penelitian secara umum dan secara siklikal
(Moleong, 2005 : 126).
a) Tahapan penelitian secara umum
Tahapan penelitian secara umum secara garis besar
terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1)tahap pralapangan, (2)tahap pekerjaan
lapangan, dan (3) tahap analisis data. Masing- masing tahap tersebut
terdiri dari beberapa langkah.
b) Tahapan penelitian secara siklikal
Menurut Spradley
(Moleong, 2005 :148), tahap penelitian kualitatif,
khususnya dalam etnografi merupakan proses yang berbentuk
lingkaran
yang lebih dikenal dengan proses
penelitian siklikal, yang terdiri dari langkah-langkah:
(1) pengamatan
deskriptif,
(2) analisis demein,
(3) pengamatan terfokus,
(4) analisis taksonomi,
(5) pengamatan terpilih,
(6) analisis komponen, dan
(7) analisis tema.
(2) analisis demein,
(3) pengamatan terfokus,
(4) analisis taksonomi,
(5) pengamatan terpilih,
(6) analisis komponen, dan
(7) analisis tema.
Ø
Metode Positivme
Metode ini dikeluarkan oleh August
Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang
faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang
ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui
secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian
metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang
gejala-gejala saja.
Ø
Mentode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga
objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu
kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
oleh Al-Ghazali.
Ø
Metode
Dialektif
Dalam filsafat, dialektika mula-mula
berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini
diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika
berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode
penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang
terkandung dalam pandangan.
3.2. Teori-Teori Kebenaran
Menurut Endang Saifuddin Anshari (dalam H. Mumuh M.
Zakaria, 2008) Teori kebenaran dapat ditentukan dengan :
1. Teori Koherensi/Konsistensi
(The Consistence/Coherence Theory of Truth) :
a.
Kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai
benar.
b.
Suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh
putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui
benarnya.
Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Polan adalah
seorang manusia.Si Polan pasti akan mati.” “Sukarno adalah ayahanda Megawati.
Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”.
Teori ini dianut oleh mazhab idealisme. Penggagas teori ini adalah Plato
(427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan oleh
Hegel dan F.H. Bradley (1864-1924).
2.
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth):
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesu-atu itu sendiri.
Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”.
Teori ini digagas oleh Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan
oleh Bertrand Russel (1872-1970). Penganut teori ini adalah mazhab realisme dan
materialisme.
3. Teori Pragmatis
(The Pragmatic Theory of Truth):
“Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia”. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat
dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory
consequencies).
Pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce (1839-1914) dan William James.
Kritik: betapa kabur dan samarnya pengertian berguna (usefull) itu.
Kritik: betapa kabur dan samarnya pengertian berguna (usefull) itu.
3.3. Metode Untuk Memperoleh Pengetahuan
a. Metode Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani
yaitu “empiris” yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme
dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Asal kata empirisme adalah empiria yang berarti kepercayaan terhadap
pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan
yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang
memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan
bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak
berarti atau tanpa arti. Ilmu haru sdapat diuji melalui pengalaman. Dengan
demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah
pengalaman (post to experience).
Tokoh-tokoh empirisme antara lain
Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke
(1632-1704). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan
menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya
ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun
fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Pandangan Thomas Hobbes sangat
mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia
atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan
Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya
manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini
menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah
srigala bagi manusia lain.
Menurut
aliran ini bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indranya.
Bapak aliran ini adalah John Lock (1632-1704) dengan teorinya “tabula rasa”
yang artinya secara bahasa adalah meja lilin. Menurut paham empirisme,
metode untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat
empiris, yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui
pengamalan indera manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana orang tahu es
membeku? Jawab kaum empiris adalah karena saya melihatnya (secara
inderawi/panca indera), maka pengetahuan diperoleh melalui perantaraan indera.
Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme berdasarkan pengalaman
akibat dari suatu objek yang merangsang alat inderawi, kemudian menumbuhkan
rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan
sebagaimana adanya dan dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang
telah merangsang alat inderawi ini. Kesimpulannya adalah metode untuk
memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme adalah berdasarkan pengalaman
inderawi atau pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia.
Kelemahan aliran ini adalah sangat banyak :
- Indera
terbatas ; Benda yang jauh kelihatan kecil.
- Indera
menipu ; Orang yang sedang sakit malaria, gula rasanya pahit.
- Terkadang
objek yang menipu, seperti ilusi dan patamorgana.
- Kekurangan
terdapat pada indera dan objek sekaligus; indera (dalam hal ini mata)
tidak bisa melihat kerbau secara keseluruhan, begitu juga kerbau tidak
bisa dilihat secara keseluruhan.
Pada
dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme
mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan
inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan
inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang
yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat
melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal
berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman
inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek
yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat
dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang
telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.
Empirisme
memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan
satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme.
Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Francis Bacon (1210
-1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588
-1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665
-1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
b. Metode Rasionalisme
Para penganut rasionalisme
berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah
rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18.
Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez
(1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya
yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Berbeda
dengan penganut empirisme, karena rasionalisme memandang bahwa metode untuk
memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme
menegasikan nilai pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan sejenis perangsang
bagi akal pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes
(Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode deduktif
melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai:
- Sejenis
perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
- Suatu teknik
deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi
pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau
sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
Rasionalisme adalah merupakan faham
atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain
itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung
dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal
yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi
(ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang
demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali
akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan
bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada
akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini
menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad
XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh
Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu
menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan
satu sama lain menurut hukum sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan
menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu
keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran
melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan
kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam
kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia
dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad
XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
b. Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
4.
Ruang Lingkup Epistemologi
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi
hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam
aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.
Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang
harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa
hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu,
mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai
dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah
pokok ; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu
luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi
sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan
selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang
tertentu.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya
aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga
mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas
pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih
banyak cenderung diabaikan.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian
epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber
ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai
epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan
epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi
memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali
sistematika filsafat, khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin
mendalami dan menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa hanya
memegangi makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi
dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait
langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
5.
Epistemologi Pendidikan
Epistemologi
diperlukan dalam pendidikan antara lain salah satunya dalam hubungannya dengan penyusunan
dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik,
diajarkan di sekolah dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara
menyempaikannya seperti apa? Semua itu adalah epistemologinya pendidikan.
Lahirnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) adalah salah satu usaha baik dari
pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Baik dari segi
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Melihat
kondisi ini, dilihat dari sudut epistemologi adalah seharusnya pengetahuan
apa yang harus diberikan kepada anak didik?. Hal ini tentu terkait dengan
pengetahuan kita akan kebutuhan yang diperlukan anak didik. Harus mengetahui
dan memahami berbagai kemampuan atau kelebihan atau kecerdasan yang dimiliki
anak. tidak bisa semua siswa diberlakukan sama.
Bagaimana
cara memperoleh pengetahuan?
Pada dunia pendidikan cara memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan
justru pada sekolah-sekolah swasta yang pada dasarnya tidak ingin tergantung
pada kapitalisme semata. Mereka mendidik anak-anak dengan mengembangkanpotensi
yang ada dengan harapan anak-anak bisa berkembangan secara maksimal. Cara
tradisional, guru dianggap sebagai pusat segala-galanya. Guru yang paling
pandai dan gudang ilmu. Siswa adalah penerima. Cara model sekarang, banyak diantaranya
mengembangkan metode active learning untuk memacu kreativitas dan daya
inisiatif siswa. Guru hanya sebagai fasiltator saja. Guru mengarahkan siswa.
Siswa dapat memperolehnya melalui diskusi, problem based learning (PBL),
pergi ke perpustakaan, belajar dengan e-learning (internet), membaca dan
sebagainya. Cara-cara seperti ini akan memacu potensi siswa daripada siswa
diperlakukan hanya sebagai objek yag pasif saja.
Bagaimana
cara menyampaikannya?.
Pertanyaan ini terkait dengan kompetensi guru serta metode atau gaya pengajaran
yang mereka terapkan. Cara penyampaian cukup mempengaruhi motivasi siswa dalam
belajar. Salah satu contoh SD Kreatif. SD ini memberikan pengajaran yang unik.
Kadang guru memberikan pendidikan dengan outbound, dengan bentuk dongeng atau
cerita, atau dengan memberikan pesan moral dan mengajak untuk berpikir
rasional.
6.
Epistemologi Matematika
Kajian
epistemologi matematika adalah sekelompok pertanyaan mengenai apakah matematika
itu (pertanyaan yang diperbincangkan oleh para ahli matematika selama lebih
daripada 2000 tahun), termasuk jenis pengetahuan apa (pengetahuan empirik
ataukah pengetahuan pra-pengalaman), bagaimana ciri-cirinya (deduktif, abstrak,
hipotesis, eksak, simbolik, universal, rasional, dan kemungkinan ciri lainnya),
serta lingkupan dan pembagian pengetahuan matematika (matematika murni dan
matematik terapan serta berbagai cabang matematika yang lain). Demikian pula persoalan tentang
kebenaran matematika seperti misalnya sifat alaminya dan macamnya. Jadi,
matematika jika ditinjau dari aspek epistemologi, matematika mengembangkan
bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara
kuantitatif.
Problem dasar pendidikan
matematika kita di Indonesia adalah siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk
menginterpretasikan sebuah persoalan. Padahal, matematika itu adalah
interpretasi manusia terhadap fenomena alam. Dampaknya, siswa bahkan mahasiswa,
pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu.
Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan
C.HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN EPISTEMOLOGI
Filsafat ilmu secara sistematis merupakan cabang dari kajian epistemologi,
epistemologi sendiri memiliki dua cabang yaitu filsafat ilmu dan filsafat
pengetahuan. Objek material filsafat pengetahuan adalah gejala pengetahuan,
objek material fisafat ilmu adalah mempelajari gejala ilmu menurut sebab pokoknya.
Filsafat penelitian meneliti setiap pengetahuan dari gejala pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari, menggali kebenaran, kepastian dan tahap-tahapannya,
objektivitas, abstraksi, intuisi, asal dan arah pengetahuan. Pertanyaan filsaat
tidak dijawab dengan uji empiris melainkan dengan penalaran, dengan bantuan
telaah epistemologi akan didapat pemahaman hakiki tentang karakter dari objek
ilmu. Epistemologi tidak berakar pada periode pemikiran, tidak terkait pada
prosedur praktis dan problem secara historis berkaitan dengan disiplin. Telaah
dalam filsafat ilmu tergantung pada sarana dan alat untuk memproses ilmu harus
selaras atau konsisten denan karekter objek material ilmu.
1. Asumsi Beberapa
Objek Ilmu
a.
Ilmu alam dan empiris
Ilmu empiris berpandangan mempelajari objek empiris dialam semesta dan
berbagai gejala serta peristiwa yang mempunyai manfaat bagi manusia. Ilmu
empiris mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain :
1)
Objek-objek tertentu mempunyai kesurupaan dalam hal bentuk, struktur, dan
sifat. Sehingga ilmu tidak membahas mengenai kasus individual
tetapi suatu kelas tertentu.
2)
Menganggap benda tidak akan berubah dalam jangka waktu tertentu, hal ini
memungkinkan kita untuk melakukan penelitian
ilmiah terhadap objek yang kita selidiki.
3)
Menganggap gejala bukan kejadian kebetulan tetapi mempunyai pola tertentu dan
urut-urutkan kejadian yang sama.
b.
Ilmu abstrak
Ilmu abstrak
merupakan ilmu yang tidak kasat mata dan tidak terbatas ruang dan waktu. Ilmu
abstrak berfungsi untuk memperkuat tegaknya ilmu–ilmu yang lain. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam pemikiran manusia.
c.
Ilmu sosial dan kemanusiaan
Ilmu
kemanusiaan juga mencakup ilmu sosial, ilmu ini merupakan ilmu empiris yang
mempelajari manusia dalam segala aspek hidup, ciri khas, tingkah laku induvidu
atau bersama. Objek material ilmu sosial adalah tingkah laku dalam tindakan,
bersifat bebas dan tidak deterministik, mengandung pilihan, tanggung jawab,
makna pengertian, dan yang lain sehingga tidak bisasehingga tidak dapat
diterapi dengan predikat “sebab-akibat”. Kensekuansi epistemologi untuk
memahami fenomena manusia adalah sebagai objek alamiah. Objek ilmu kemanusiaan
yaitu manusia secara keseluruhan, ia melampaui status objek-bojek disekitarnya.
Peneliti dalam penilitian sosial juga sebagai objek, sehingga cara berfikir
dalam ilmu sosial adaalah analog pada ilmu-ilmu alah cara berfikirnya analah
univok. Karena ciri diatas maka ilmu kemanusiaan menggunakan titik pangkal data
kriterium kebenaran dari ilmu-ilmu lainnya.
d.
Ilmu sejarah
Objek
material imu sejarah adalah data peninggalan masa lampau baik kesaksian, alat,
makam, rumah, tulisan, atau karya seni. Objek ilmu sejarah tidak dapt
dieksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat dikembalikan lagi.
Karena banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi terkait dalam
penilaian, maka objek ativitas ilmu sejarah menjadi problem dalam menentukan
objektivitas.
2. Taraf-Taraf Kepastian Subjektivitas dan Objektivitas
Ilmu
a.
Evidensi
Evidensi
objek pengetahuan berkatian dengan taraf kepastian pengetahuan yang dimiliki
subjek, taraf kepastian subkej dalam ilmu tertentu terjadi berdasarkan evidensi
objek yagn dikenal. Evidensi dan kepastian perlu dikaji dari udut asli subjek
dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya.
1)
Dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu
empiris termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian, tetapi taraf
kepastian konkret dalam ilmu empiris bersifat bebas ( tidak ada paksaan untuk
disetujui). Evidensi dan kepastian dalam ilmu empiris diwarnai subjektifitas
yagn membangun dan objektivitas (diluar pengalaman subjek). Maksudnya, makin
dekat ilmu tertentu dengan pengalaman manusia seutuhnya makin besar pula kesatuan
subjek-objeknya dan makin besar pula peran subjek dalam kesatuan itu.
2)
Dalam ilmu-ilmu pasti
Dalam taraf context
of discovery ilmu pastipun masih dalam taraf coba-coba, sedangakan dalam context
of justification hanya ada ungkapan yang bersifat aksiometris dan
dalil-dalil yang tidak terikat ruang dan waktu. Ilmu-ilmu pasti tidak bersifat
empiris, sehingga evidensinya bersifat mutlak.
b.
Objektivitas
Ilmu dikatakan objektif
karena mendekati fakta-fakta yang ada secara metodis, kesulitan khusus bagi
ilmu manusia yaitu dalam prakteknya tidak dapat melakukan eksperimen secara
netral. Walaupun pengalaman eksperimental ilmu-ilmu manusia dibutuhkan, maka
hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh. Objektifitas ilmu
alam merupakan objektifitas yang menyangkut apa yagn diberikan sebagai objek.
Objek belum tentu sebuah benda tetapi semua yang tampak oleh panca indera
manusia.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Filsafat
ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaiknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kelahiran filsafat di Yunani
menunjukkan pola pemikiran bangsa Yunani dari pandangan mitologi akhirnya
lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang dominan.
Perubahan dari pola pikir mite-mite
kerasio membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya, yang
selama itu ditakuti kemudian didekati dan bahkan bisa dikuasai. Perubahan yang
mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang
menjelaskan perubahan yang terjadi, baik alam semesta maupun pada manusia
sendiri.
Filsafat ilmu
secara sistematis merupakan cabang dari kajian epistemologi, epistemologi
sendiri memiliki dua cabang yaitu filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan. Objek
material filsafat pengetahuan adalah gejala pengetahuan, objek material fisafat
ilmu adalah mempelajari gejala ilmu menurut sebab pokoknya. Filsafat penelitian
meneliti setiap pengetahuan dari gejala pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari, menggali kebenaran, kepastian dan tahap-tahapannya, objektivitas,
abstraksi, intuisi, asal dan arah pengetahuan
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar